Kamis, 15 Mei 2014

MADRASAH PADA MASA KLASIK ISLAM

MADRASAH PADA MASA KLASIK ISLAM A. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Lahirnya Madrasah Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Namun demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan bahwa pendidikan Islam memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena ia didasarkan kepada tujuan yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai keridlaan Allah SWT, di dunia dan akhirat. Karena itu, kendatipun ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan terhormat di dalam konsep pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu, sebab ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu (baca: Allah SWT). Ilmu pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia mampu menghantarkan manusia (penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah, dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah). Karena itu akhlak menempati posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan kelanjutan logis dari pernyataan Nabi Saw. sendiri bahwa beliau diutus membawa agama Islam ke dunia ini untuk menyempurnaan keluhuran akhlak budi manusia. Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju ke arah penyempurnaan akhlak budi. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah fungsi untuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan lembaga pendidikan adalah aspek material untuk menjalankan fungsi tersebut. Pendidikan adalah substansinya, sedangkan lembaga pendidikan adalah institusi atau pranatanya yang telah terbentuk secara ajeg dan mapan di tengah-tengah masyarakat. Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut konsep pendidikan Islam, bagaimana pula kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, kemudian dirangkaikan dengan pembahasan seputar lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada atau dikenal di masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, terutama sebelum berdirinya Madrasah . Madrasah Imam Abu Hanifah Baghdad Dalam tulisan Ibn Al-Jawzi disebutkan bahwa pada tahun 459 H/l066 M, Abu Sa'd, menteri keuangan Sultan Alp Arslan merenovasi makam Abu Hanifah dengan memberinya batu nisan (malban), lalu membangun sebuah kubah di atasnya. Di samping makam (masyhad) tersebut ia membangun sebuah madrasah dengan asrama untuk para fuqaha' dan mengangkat seorang mudarris (guru) untuk mengajar mereka. Pembangunannya dimulai pada bulan Shafar 459 H/Desember 1067 M dan selesai pada bulan Jumadil Akhir 459 H/April 1067 M. Madrasah ini, sesuai dengan nama dan lokasinya, khusus untuk penganut mazhab Hanafi. Ibn Sa'd mendukung biaya operasionalnya dengan satu badan wakaf yang membayar mudarris, mahasiswa dan staf lain yang bekerja untuk madrasah ini. Sebuah catatan sehubungan dengan kondisi keuangan madrasah ini memberikan gambaran umum kondisi fmansial madrasah masa ini (abad ke-5 H/l 1 M). Pada awal tahun 523 H/ 1129 M, Sultan Mughitsuddin Mahmud II (sultan Saljuq yang berkuasa pada 511-525 H/l 118-1131) mengeluarkan perintah untuk mengadakan pemeriksaan atas keuangan Madrasah Abu Hanifah. Mudarris (guru), sekaligus administratornya saat itu adalah Qadhi Al-Qudhat Al-Zaynabi (w.543/1148). Laporan pemeriksaan ini menyatakan bahwa wakaf madrasah tersebut mempunyai penghasilan tahunan sekitar 80.000 dinar. Dari jumlah ini tidak sampai 10.000 dinar yang dihabiskan untuk madrasah. Komplek madrasah ini mencakup sebuah masjid, perpus-takaan, serta makam untuk ulama-ulama besar mazhab Hanafi. Makam menjadi faktor pembeda antara madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Abu Hanifah; tetapi banyak madrasah yang dibangun belakangan juga meliputi komplek makam, mengikuti pola madrasah Abu Hanifah ini. AbuThahir Al-Daylami (w.461/ 1069) adalah mudarris pertama madrasah ini; kemudian berturut-turut Abu Thalib Al-Zaynabi (w.512/1118), Abu Ishaq Al-Salji (w.515/1121), Abu Yusuf Al-Lamaghani (w.536/1141), Abu Manshur Al-Hayti (w.537/1142), Al-Zaynabi yang disebut terdahulu, Zayn Al-A'immah Al-Hanafi (w.546/1151) dan Abu Al-Ghana'imAl-Baghdadi (w.557/1162). Seorang bernama Abu Sa'id Al-Khawarizmi diketahui pernah menjadi pustakawan di Madrasah Abu Hanifah. Madrasah ini beroperasi dengan baik selama lebih kurang dua abad, sampai masa sebelum serbuan Mongol yang berakhir dengan jatuhnya Baghdad pada 656 H/l 258 M ke tangan Hulagu. Madrasah ini mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan stabilitas sosial, ekonomi dan politik Irak pada umumnya, dan Baghdad pada khususnya. d. Madrasah Al-Mustanshiriyah Baghdad Madrasah ini mengambil nama sesuai dengan pendirinya, Khalifah Abbassyiah ke-36, Al-Mustanshir (623-640/1226-1242). Pembangunannya berlangsung selama sepuluh tahun, satu indikasi yang menunjukkan kebesaran madrasah yang didisain oleh Mu'ayyad Al-Din bin Al-Alqami ini. Fasilitas yang tersedia mencakup ruang kuliah, asrama, aula, kolam, dapur umum dan gudang. Masih merupakan bagian dari madrasah ini adalah sebuah perpustakaan, sebuah Dar Al-Quran, sebuah Dar Al-Hadits, sebuah rumah sakit, dan sebuah gudang obat (apotek). Kenyataan ini membuat Madrasah Al-Mustanshiriyah berbeda dengan Madrasah Nizhamiyah atau Madrasah Abu Hanifah. Perbedaan yang agak penting adalah bahwa khalifah Abbasiyyah, al-Mustansyir, tidak menghendaki madrasahnya beroperasi hanya untuk satu mazhab tertentu. Di sini, keempat mazhab sama-sama mendapat tempat dan dukungan fasilitas. Untuk itu, madrasah ini mempunyai empat ruang kuliah, masing-masing untuk satu mazhab. Khalifah Al-Mustanshir terkenal dengan keadilan, kesalehan dan kedermawanannya dalam memajukan kehidupan umat Islam, terutama di bidang pendidikan. Madrasah Al-Mustanshiriyah adalah bagian terpenting dari usaha ini. Masa pemerintahannya bertepatan dengan periode di saat stabilitas politik Baghdad tidak terlalu menggembirakan. Ketika itu Baghdad tidak lagi menjadi pusat penting politik Islam. Dinasti Saljuk yang sebelumnya berkuasa di Baghdad di Baghdad sudah jatuh, dan khalifah sudah kembali berkuasa secara penuh dan otonom, setelah lebih dari tiga abad hanya berperan sebagai boneka di hadapan para panglima tentara dan para sultan. Namun, wilayah kekuasaannya hanya di kota Baghdad dan sekitarnya. Di luar itu dinasti-dinasti Islam, seperti Khawarizimsyah diTransoxania dan Ayyubiyah di Mesir, Atabeg di Syria jauh lebih kuat secara politik dari pada khalifah di Baghdad. Buruknya suasana politik itu menyebabkan terjadinya perpindahan para ulama terbaik dari Baghdad.Tujuan mereka pada umumnya adalah Damaskus, Kairo, Makkah atau Madinah. Kenyataan historis ini menimbulkan akibat buruk bagi lapangan pendidikan. Kegiatan akademis memang tetap berlangsung, tetapi, seperti kata Nashabe, "Baghdad menjadi tempat ulama kelas dua". Tampaknya keadaan ini ada dalam pikiran Al-Mustanshir ketika ia memutuskan mendirikan madrasah. Kondisi akademis Baghdad sebagai tempat kediaman khalifah perlu ditingkatkan kembali. Lagi pula, untuk memantapkan kekuasaannya baik secara politik maupun sosial, khalifah butuh dukungan para ulama dan rakyat, dan madrasah adalah salah satu kemungkinan sarana untuk memperoleh dukungan ini (lihat kasus Madrasah Nizhamiyah). Untuk dapat mencakup sebanyak mungkin ulama, Al-Muntashir memberikan tempat bagi keempat mazhab dalam madrasahnya. Di sisi lain, umat Islam telah mencapai titik kondisi yaitu mereka siap untuk eksperimen baru dalam pendidikan; satu institusi yang mencakup semua mazhab hukum yang empat, menggantikan institusi yang secara eksklusif mendukung satu mazhab saja, dan mengakhiri pertikaian berkepanjangan antara kelompok-kelompok Syafi'iyah, Hanbaliyah dan Muta'zilah. Institusi seperti ini mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk diterima di seluruh dunia Islam, karena ia bisa memelihara kesatuan umat. Patronase semua mazhab Sunni yang empat oleh khalifah akan memberinya satu prestise yang lebih universal di dunia Islam tanpa hambatan dan batas-batas politik. Itulah sebabnya, Al-Muntanshir mendukung pengajaran mazhab Hambali dan Maliki di Madrasahnya walaupun di Baghdad hanya ada sedikit penganut kedua mazhab ini.Tentu saja Al-Muntanshir tidak saja bertujuan menyediakan fasilitas pendidikan bagi penduduk Baghdad, tetapi mencita-citakan kota Baghdad kembali sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi semua mazhab Sunni. Dengan madrasah ini, ia ingin merangsang para ulama untuk berbondong-bondong kembali ke Baghdad. Sejarah madrasah Al-Mustanshiriyah, oleh Nashabe dibagi menjadi tiga periode: Periode Pertama, sejak berdirinya sampai akhir khilafah Abbassyiah. Catatan sejarah tentang peresmian madrasah ini menunjukkan keterlibatan para pejabat tinggi pemerintahan dan para ulama terkemuka. Peresmian ini ditandai oleh pengangkatan empat guru besar: Ibn Fadhlan (w.631/1233), Al-Farghani (w.632/1234), IbnYusuf Al-Jawzi (w. 653/1255) dan Abu Al-Hasan Al-Maghribi (w. Abad ke-7/13) masing-masing secara berturut-turut mengajarkan mazhab-mazhab Syafi'i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Acara lain adalah penyaringan calon mahasiswa yang menghasilkan 72 orang untuk setiap mazhab (total 288 orang), yang kemudian akan menetap di asrama dengan beasiswa terjamin. Al-Syams' Ali Al-Kutubi diangkat menjadi pustakawan. Perhatian penuh dari Khalifah membuat madrasah ini beroperasi dengan baik dan periode ini adalah paling gemilang dalam sejarah madrasah Al-Mustansyiriah. Periode kedua, sepanjang kekuasaan Mongol atau Dinasti Ilkhan (658-738 H/1258-1337M).Kehancuran yang ditimbulkan oleh pasukan Mongol di setiap daerah yang mereka taklukkan terlukis dalam hampir setiap buku sejarah. Baghdad bukan suatu pengecualian. Kejatuhannya ke tangan Hulagu didahului oleh kehancuran serius madrasah Al-Mustansyiriyah. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, madrasah ini turut menderita: beberapa stafnya terbunuh dan sebagian buku koleksi perpustakaannya musnah atau diambil sebagai rampasan perang. Yang lebih berpengaruh, adalah rasa takut yang disebarkan pasukan Mongol. Ini menimbulkan gelombang perpindahan ulama dari Irak ke Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah atau tempat lain yang lebih tenang. Peraturan tentang wakaf yang diterapkan oleh penguasa baru ini seringkali tidak mendukung kemajuan lembaga pendidikan. Ini adalah salah satu masalah lain yang harus dihadapi Madrasah Al-Mustansyiriah pada periode ini. Secara keseluruhan kondisi pendidikan di Baghdad semakin mundur dibanding sebelumnya. Periode ketiga, adalah dari jatuhnya kekuasaan Mongol (739 H/1338 M) sampai pertengahan abad ke-12 H/18 M. Keadaan pada periode ini menunjukkan bahwa madrasah Al-Mustansyiriyah ditakdirkan untuk tidak bangkit dari keruntu-hannya yang telah bermula sejak abad ke dua belas. Perlahan-lahan, lembaga yang pernah jaya ini tenggelam dalam gelombang sejarah yang sedang menuju era modern. Pada pertengahan abad ke-12 H/18 M, meski bangunan fisiknya masih ada, tidak ditemukan lagi kegiatan pendidikan di dalamnya. Dan penguasa Turki Usmani tampaknya tidak mempunyai keinginan untuk membangunnya kembali. Metode Pengajaran di Madrasah Jenis metode pengajaran yang diberikan di madrasah antara lain: hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah terutama ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang diberikan itu. Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah pada masa pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi setidaknya, metode induktif, deduktif, analogi, bercerita dan metode kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat terlupakan dalam pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode tanya-jawab yang biasanya dilakukan dalam sebuah ta 'liqah (perdebatan). Metode ini dilakukan pada pelajaran yang menuntut penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam berbagai pelajaran, sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syria (1220 H/1805 M). Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada masa klasik Islam tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi dipengaruhi langsung oleh tujuan pendidikan di madrasah itu sendiri. Karena itu di bawah ini akan dibahas sepintas lalu tujuan-tujuan pendidikan yang dikembangkan di madrasah, baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan instruksional. 1) Tujuan Institusional Madrasah. Pada masa pendidikan Islam klasik, rumusan tujuan pendidikan di madrasah secara institusional sudah ada. Ini terlihat pada motivasi dan pendirian madrasah Nizham al-Mulk di Baghdad yang bertujuan mengembangkan mazhab Syafi'i, kemudian al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah yang mengembangkan mazhab Syiah, setelah itu pada zaman dinasti Ayyubiyah tujuan institusional al-Azhar diubah untuk mengembangkan faham Sunni. Pada dekade berikutnya, seiring dengan makin banyaknya madrasah yang dibangun, tujuan institusional lembaga pendidikan madrasah dikuatkan dengan hadirnya Hanafie Institute (madrasah Hanafiah) dan Hanbali Institute (madrasah Hanbaliah) seperti The Shrine college oflbn al-Abradi yang bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Ahmad Ibn Hanbal. Tetapi pada era berikutnya, seperti pada lembaga Dar El 'Ulum di Baghdad, tujuan institusional madrasah tidaklagi bertumpu pada pengajaran satu mazhab, tetapi lebih universal yaitu semua mazhab dengan bentuk-bentuk kelas tertentu. Al-A'la menjelaskan bahwa tujuan institusional madrasah masih bersifat parsial-terbatas pada madrasah tertentu saja belum menyeluruh, selain pada masing-masing jenjang pendidikan. Dengan demikian, pada masa pendidikan Islam klasik tujuan institusional madrasah dikembangkan sesuai dengan misi utama yang diajarkan oleh para penyusunnya (ulama) yang mengajar di madrasahnya. Namun, terkadang, misi itu perlu penyesuaian dengan kepentingan dan aturan/ kebijakan pemerintah. 2) Tujuan Kurikuler Madrasah. Untuk mengetahui tujuan kurikuler dari pendidikan model madrasah pada masa klasik Islam, secara tersirat dapat dilihat dari bidang studi yang ditekuninya. Tetapi sebelum dunia Islam mengenal madasah pun sebenarnya tujuan kurikuler sudah ada, yakni jika dilihat dari bidang studi yang ditekuninya tadi. Para sahabat Rasullulah, misalnya, mempelajari Al-Quran bertujuan agar mereka hafal dan mengerti makna yang terkandung serta berusaha untuk mengamalkan secara utuh. Untuk kepentingan itu mereka menghafalnya secara tekun dan cermat. Mereka yang berminat menekuni bidang fiqih bertujuan paling tidak agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. dan sesuai dengan anjuran syariat Islam. Pada generasi pasca sahabat, ketika pendidikan madrasah mulai dikenal, kaum Muslimin mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan tujuan agar memahami ajaran Islam sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Selain itu, pengetahuan dasar seperti membaca dan menulis merupakan kunci dalam mempelajari bidang-bidang keilmuan. Oleh karena itu, pengetahuan dasar diberikan kepada siapa saja sejak kanak-kanak. Ahmad Syalabi berpendapat bahwa salah satu tujuan para sahabat mempelajari hadits Nabi ialah agar mereka mengetahui persis akhlak Nabi. Sementara generasi berikutnya mempelajari ilmu bahasa agar dapat menolong mereka memahami kandungan Al-Quran dan sabda-sabda Nabi secara tepat. Menurut Al-Abrasyi, tujuan kurikuler dapat dilihat dari kecenderungan dan karakteristik ilmu yang ditekuninya, seperti belajar sejarah bertujuan untuk mengetahui keadaan masa lalu, bagaimana kehidupan para nabi, para raja dan para penguasa. Tujuan mempelajari ilmu mantiq untuk menjaga dan memelihara pikiran agar bisa berpikir maksimal dan logis. Tujuan mempelajari ilmu berhitung adalah untuk membiasakan diri berpikir analisis, sistematis dan kritis. Tujuan mempelajari ilmu kesehatan untuk memelihara dan mengetahui seluk beluk penyakit dan cara-cara menolong orang sakit. Uraian di atas menunjukkan bahwa pelajaran di madrasah sudah mempunyai tujuan-tujuan kurikuler tertentu untuk mencapai target lulusan yang diharapkan. Sejak masa klasik tujuan kurikuler pendidikan Islam memang sudah disusun secara baik, walaupun belum dianggap sebagai hal yang sistematis. 3) Tujuan Instruksional Umum Tujuan instruksional umum pendidikan digariskan dengan maksud agar mereka yang belajar di madrasah mengerti dan memahami kegunaan materi dari ilmu yang dipelajarinya. Misalnya, mempelajari ilmu mantiq agar mereka mengerti, mengetahui dan memahami cara berpikir yang baik dan benar. Tujuan mempelajari ilmu berhitung dan ilmu ukur adalah untuk mengerti, dan memahami cara menghitung yang benar dan baik. Tujuan mempelajari ilmu fiqih agar mereka mengerti, dan memahami hukum-hukum Islam baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalah. Demikian pula mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Tujuan Instruksional umum pada masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pendidikan Islam klasik lebih ditekankan pada aspek pengertian dan pengembangan pengetahuan, belum sampai pada tataran praktis. Karena itu, materi yang diajarkan baru sampai pada pengembangan pengetahuan yang bersifat teoritis. 4) Tujuan Instruksional Khusus Tujuan ini dirumuskan pada kondisi yang bersifat aplikatif dan bersifat lebih rinci, yaitu murid tidak hanya dituntut mengerti dan memahami tetapi juga dapat menyebutkan, mengungkapkan secara benar dan mempraktekkannya. Misalnya, pengajaran Al-Quran menuntut murid/mahasiswa dapat membacakan dengan benar, menyebutkan ayat-ayat tertentu yang berhubungan dengan materi pelajaran, dan dapat menunjukkan ayat-ayat tertentu jika guru memintanya. Contoh lain mempelajari berhitung dan ilmu ukur agar murid terbiasa menggunakan akal dan perasaan dalam mengikuti cara-cara tertentu seperti cara menjumlahkan, mengalikan, membagikan angka-angka dan mengukur luas dan isi. Kemampuan seperti ini sangat berguna secara praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang kelak akan membantu mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Secara Instruksional bila mereka telah menguasai ilmu-ilmu itu mereka dapat memecahkan persoalan dalam pembagian harta waris. Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. c. Evaluasi Pengajaran di Madrasah. Pada masa perkembangan pendidikan Islam klasik, untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem pendidikan dibutuhkan evaluasi pendidikan. Menurut Stanton dan Makdisi, evaluasi hasil belajar di madrasah sudah dilakukan pada masa Madrasah Nizhamiyah, dan diikuti oleh madrasah-madrasah lainnya pada masa sesudahnya. Bentuk evaluasi pendidikan madrasah pada masa itu sebagian besar dilakukan sendiri oleh guru bidang studi. Para guru bertanya pada muridnya, atau para murid diminta menghafal di depan kelas mengenai suatu materi. Evaluasi belum bisa dilakukan secara teratur dan terjadwal karena keberhasilan seorang murid menguasai materi yang diajarkan sangat tergantung pada semangat belajar para siswa/mahasiswanya sendiri. Setelah pendidikan madrasah mulai berjenjang, evaluasi dilakukan setidaknya untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang dalam mempelajarai ilmu-ilmu tertentu yang membutuhkan pengetahuan dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Seperti pelajaran Al-Quran, sebelum mempelajari tafsir Al-Quran, murid harus mengetahui lebih dahulu membaca dan menulis huruf dan ulumul Quran. Sepanjang sejarah pendidikan Islam klasik tidak ditemukan suatu catatan yang menjelaskan bahwa para pelajar diminta mempersiapkan diri mengikuti suatu ujian atau ulangan.Test yang dilakukan pada saat itu adalah test dalam kelas yang langsung dilakukan oleh para mudarris/syaikh, atau teman-teman lainnya dengan cara bertukar pikiran, berdebat atau diskusi. Namun demikian, tes tidak dilakukan secara terstruktur. Siswa/mahasiswa hanya mendapatkan ijazah atau surat keterangan sebagai bukti bahwa mereka telah lulus atau pernah belajar di lembaga tersebut. Surat keterangan itu berisi pernyataan tertentu di bawah bimbing-an ustadz/mudarris/syaikh tertentu, mengikuti ujian tertentu dan tanda tangan ketua lembaga pendidikan. Pemberian ijazah tersebut hanya sebatas menunjukkan kemampuan dan kesung-guhan seorang pelajar dalam mempelajari ilmu-ilmu tertentu tanpa disebutkan alamat lembaga tempat mereka belajar dan tidak mendapat gelar seperti pada lembaga pendidikan modern.

0 komentar:

Posting Komentar