Senin, 05 Mei 2014

INTERNALISASI NILAI-NILAI TASAWUF DI ERA GLOBALISASI

INTERNALISASI NILAI-NILAI TASAWUF DI ERA
GLOBALISASI
Tasawuf atau sufisme adalah suatu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan adalah hasil dari kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Sebab, ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup belum ada istilah ini. Yang ada hanya sahabat (sebutan yang hidup pada jaman Nabi). Sedangkan, generasi yang hidup setelah generasi itu disebut tabiin.
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, tashawwafa, yatsahawwafu, tashawwufan. Para ulama berbeda pendapat dari mana asal- usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf (bulu domba), saf (barisan), shafa (jernih) dan dari kata shuffah (emperan Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat Nabi saw.)
Secara terminologi banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda. Yang oleh Ibrahim Basyuni diklasifikasikan menjadi tiga, yakni Al-bidayah, Al-mujahadah, dan Al-madzaqah.
Sufisme adalah bagian dari syariat islamiah, yakni wujud ihsan. Tiga kerangka ajaran Islam, yakni iman, Islam, dan ihsan. Ihsan meliputi semua tingkah laku umat Islam, baik tindakan lahiriah maupun batiniah, dan ibadah maupun muamalah. Sebab, ihsan adalah jiwa atau roh dari iman dan Islam.
Iman sebagai fondasi yang ada pada jiwa seseorang merupakan hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan Islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak yang mulia atau disebut ihsan. (Q.S. Lukman/31: 22).
Sedangkan, pengertian ihsan menurut hadis Nabi, "Beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatnya, jika kamu tidak dapat melihatnya, maka harus diketahui bahwa dia melihat kita." Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyuk, penuh ketundukan dengan cara yang baik.
Sebagaimana dikatakan tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, sudah barang tentu semua hal yang berkaitan dengan sufistik didasarkan kepada Alquran, hadis, dan perilaku sahabat Nabi saw., baik yang menyangkut tingkatan (maqam) maupun keadaan jiwa.
Maqam adalah hasil dari kesungguhan dan perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik. Contoh maqam adalah tobat, zuhud, wara, fakir, sabar, dan rida. Adapun hal adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang tanpa melalui latihan, semata-mata karunia Allah kepada yang dikehendaki-Nya. Contoh hal adalah qurb (dekat dengan Allah), hub (cinta Allah), yakin muhasyadah (penyaksian), dan makrifat (mengenal Allah). (H.M. Amin Syukur, 2004).
Dalam Alquran Surat Al-Hadid/57: 3, tertera bahwa Allah menerangkan diri-Nya sebagai yang lahir dan yang batin. Dunia dan isinya adalah pancaran dari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Dan, memang benar adanya semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.
Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang utama tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan usaha dan perjuangan panjang yang tiada hentinya, sebagai cara individu yang terbaik mengontrol diri, setia, dan senantiasa merasa di hadapan Allah swt.
Perlu disadari lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam. Hal ini ini berawal dari ketidakpuasan terhadap praktek ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral terhadap ketimpangan sosial, politik, moral, dan ekonomi yang dilakukan umat Islam, khususnya oleh kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampilah beberapa tokoh tasawuf untuk memberikan solusi, dengan ajaran tasawufnya. Sebut saja Abu Dzar, Al-Gazali, serta Hasan Albasri. Solusi yang ditawarkan merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik terhadap tindakan batin, serta solusi terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual.
Mengutip pendapat H.M. Amin Syukur, secara subtansial, tasawuf memiliki beberapa ajaran sosial, antara lain futuwwah dan itsar. Ibn Al-husain Al-sulaimi mengartikan futuwwah (kesatria) yaitu dari kata fata (pemuda). Apabila kita mengartikan kesatria adalah sosok yang ideal baik lahir maupun batin. Kesatria adalah sosok yang sabar, dermawan, ramah, suka menolong, pantang menyerah, dan senantiasa memikirkan masa depan dengan sikap antisipatif dengan penuh tanggung jawab dan perencanaan. Sedangkan, itsar adalah lebih mementingkan orang lain ketimbang diri sendiri.
Perlu kita sadari bersama Indonesia pada saat ini mau-tidak mau telah memasuki negara modern dan negara industri. Dan, sudah menjadi wacana publik bahwa dalam era ini akan muncul dan tumbuh sikap rasionalisme dalam memandang alam dan lingkungan hidupnya serta sekulerisasi pun akan menyertainya. Sudah tentu sikap mementingkan diri sendiri termasuk di dalamnya. Dalam hal ini akan muncul sikap desakralisasi kehidupan duniawi. Dunia yang dulunya sarat dengan keterikatan magis dalam kekuasaan ulama dan lembaga agama mulai dijelajahi sebagian besar orang. Fungsi dan makna dunia secara objektif yang selama ini diterima apa adanya secara emosional dari warta wahyu, kini mulai ditanggapi kritis dan rasional.
Dalam kehidupan masyarakat kritis dan rasional atau disebut masyarakat modern, pada umumnya hubungan antara anggota masyarakat atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisik. Masyarakat modern pun sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sudah barang tentu menampilkan nilai-nilai Ilahi. Hal inilah sebetulnya yang menyebabkan masyarakat modern berada di wilayah pinggiran eksistensinya sendiri.
Banyak hal-hal yang dihadapi masyarakat modern, yang pada saatnya akan merugikan diri mereka sendiri. Seperti kehampaan spiritual, kegelisahan dan akibat lebih jauh adalah degradasi moral.
Kehampaan spiritual, hal inilah sebetulnya yang mengakibatkan banyak dijumpai orang yang stres dan gelisah akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Kegelisahan pada masyarakat modern itu disebabkan perasaan takut kehilangan apa yang dimiliki, timbulnya rasa takut masa depan yang tidak disukai, kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan, terutama kepuasan spiritual. Degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabat manusia. Dalam masyarakt modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang tidak selayaknya ditampilkan, singkatnya sifat yang tidak terpuji dan tidak beradab, terutama dalam menghadapi dan menggapai materi yang gemerlap. Dalam masyarakat, ini selalu dikuasai keinginan berkompetisi yang dikuasai hawa nafsu, dan berkompetisi untuk menguasai yang lain yang sudah tentu berlandaskan nafsu. Seperti digambarkan dalam dunia perpolitikan. Yang satu ingin menguasai yang lain, yang satu ingin menyingkirkan yang lain, yaitu buat kepentingan diri dan golongannya. Tak terlepas para pelaku pembangunan pun melakukan banyak kebocoran, yang itu merugikan masyarakat banyak.
Dari gambaran diatas, jelas kehidupan modern dan industrialisasi membutuhkan sentuhan yang lain untuk merajut hidup. Salah satu alternatif yang dibutuhkan adalah nilai-nilai tasawuf. Dalam kiprahnya, tasawuf banyak menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Semisal keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah perpolitikan. Ada beberapa kelompok tasawuf yang mampu menumbuhkan semangat nasionalisme. Ambil contoh di Afrika Utara. Pengusiran Prancis dari Algeria dan Sudan Tengah. Dihalaunya Italia dari Libia. Di Mesir pun Inggris mengakui kepemimpinan tokoh spiritual Sanusyah, Muhammad Idris, dan dia pula yang mendirikan Negara Serikat Libia, yang meliputi Cyrenaika, Tripolitania, dan Fezzan.
Dalam kiprahnya, tasawuf tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan kerohanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan. Serta, gerakannya berada pada perjuangan dan pembaruan dan programnya berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial dan tidak terbatas pada spiritual keakhiratan saja. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral, sosial, dan keagamaan.
Tasawuf secara epistimologis memakai metode intuitif, yang pada zaman ini dapat dijadikan salah satu alternatif dari rasionalisme dan empirisme dan membantunya melakukan terobosan baru dalam berbagi hal. Lebih lanjut Hennry Bergson berpendapat pada diri manusia terdapat infraintelektual dan supraintelektual. Infraintelektual adalah intuisi yang menyertai pikiran dan masuk pikiran melalui indra, sedangkan supra intelektual adalah intuisi yang tumbuh pada diri manusia tanpa didahului keterangan logis dan tidak bergantung pengamatan indra.
Hal senada pun dilontarkan Javad Nurbakh dalam artikelnya "Sufisme dan Psikologi Analisis". Bahwa dalam terminologi pisikologis sufi, ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu aql kully (akal universal), dan aql zuz'i (akal partikular). Akal partikular dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari, dari kehidupan material. Menurut psikologi sufi, akal partikuler tak dapat digunakan untuk mencapai kebenaran, karena kebenaran selalu berkaitan keseluruhan dengan universalitas. Hal demikian menunjukkan intuisi dapat dijadikan alat kontemplasi untuk menemukan sesuatu yang baru dan benar.
Melihat kenyataan yang tergambar di atas, secara hipotesis dapatlah dikatakan spiritualitas dapat berjalan seiring dengan rasionalitas. Tidaklah mengherankan sekiranya pada zaman modern seperti sekarang ini banyak orang yang makin dalam terbenam dalam pekerjaan intelektual, makin rindu pula pada kehangatan spiritual. Maka dari itu, kita perlu berkontemplasi, memang kehidupan lahir tida sia-sia. Namun, berpuas diri semata-mata dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran kodrat manusia yang sebenarnya karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri dari yang lahir ke yang batin. Sebagai mana telah dikemukakan di atas, realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin. (Al-Hadid /57: 3).
Semoga dengan menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep-konsep tasawuf, mampu memberikan jawaban terhadap problem-problem yang ada pada masa ini, yakni problem dan dampak negatif modernisasi, keindustrian dan pluralitas baik secara global maupun Indonesia secara khusus. Dengan demikian, semoga tasawuf dapat dijadikan sebagai sebuah ikhtiar pengembangan sumber daya insani menuju masyarakat Islam yang bertanggung jawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur yang diridai Allah swt. Wallahualam bissawab.

0 komentar:

Posting Komentar