Foto bersama Abah KH. Masduqi Mahfudz (ALm)

Foto setelah Sholat Idzul Adha spt biasax.

Bersama Anak" tercinta

Foto bersama Rhamadhan penuh barokah.

Calon Ulama Masa depan

bersama temen" pelatihan di UIN MAlang.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 15 Mei 2014

MADRASAH PADA MASA KLASIK ISLAM

MADRASAH PADA MASA KLASIK ISLAM A. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Lahirnya Madrasah Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Namun demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan bahwa pendidikan Islam memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena ia didasarkan kepada tujuan yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai keridlaan Allah SWT, di dunia dan akhirat. Karena itu, kendatipun ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan terhormat di dalam konsep pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu, sebab ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu (baca: Allah SWT). Ilmu pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia mampu menghantarkan manusia (penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah, dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah). Karena itu akhlak menempati posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan kelanjutan logis dari pernyataan Nabi Saw. sendiri bahwa beliau diutus membawa agama Islam ke dunia ini untuk menyempurnaan keluhuran akhlak budi manusia. Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju ke arah penyempurnaan akhlak budi. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah fungsi untuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan lembaga pendidikan adalah aspek material untuk menjalankan fungsi tersebut. Pendidikan adalah substansinya, sedangkan lembaga pendidikan adalah institusi atau pranatanya yang telah terbentuk secara ajeg dan mapan di tengah-tengah masyarakat. Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut konsep pendidikan Islam, bagaimana pula kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, kemudian dirangkaikan dengan pembahasan seputar lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada atau dikenal di masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, terutama sebelum berdirinya Madrasah . Madrasah Imam Abu Hanifah Baghdad Dalam tulisan Ibn Al-Jawzi disebutkan bahwa pada tahun 459 H/l066 M, Abu Sa'd, menteri keuangan Sultan Alp Arslan merenovasi makam Abu Hanifah dengan memberinya batu nisan (malban), lalu membangun sebuah kubah di atasnya. Di samping makam (masyhad) tersebut ia membangun sebuah madrasah dengan asrama untuk para fuqaha' dan mengangkat seorang mudarris (guru) untuk mengajar mereka. Pembangunannya dimulai pada bulan Shafar 459 H/Desember 1067 M dan selesai pada bulan Jumadil Akhir 459 H/April 1067 M. Madrasah ini, sesuai dengan nama dan lokasinya, khusus untuk penganut mazhab Hanafi. Ibn Sa'd mendukung biaya operasionalnya dengan satu badan wakaf yang membayar mudarris, mahasiswa dan staf lain yang bekerja untuk madrasah ini. Sebuah catatan sehubungan dengan kondisi keuangan madrasah ini memberikan gambaran umum kondisi fmansial madrasah masa ini (abad ke-5 H/l 1 M). Pada awal tahun 523 H/ 1129 M, Sultan Mughitsuddin Mahmud II (sultan Saljuq yang berkuasa pada 511-525 H/l 118-1131) mengeluarkan perintah untuk mengadakan pemeriksaan atas keuangan Madrasah Abu Hanifah. Mudarris (guru), sekaligus administratornya saat itu adalah Qadhi Al-Qudhat Al-Zaynabi (w.543/1148). Laporan pemeriksaan ini menyatakan bahwa wakaf madrasah tersebut mempunyai penghasilan tahunan sekitar 80.000 dinar. Dari jumlah ini tidak sampai 10.000 dinar yang dihabiskan untuk madrasah. Komplek madrasah ini mencakup sebuah masjid, perpus-takaan, serta makam untuk ulama-ulama besar mazhab Hanafi. Makam menjadi faktor pembeda antara madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Abu Hanifah; tetapi banyak madrasah yang dibangun belakangan juga meliputi komplek makam, mengikuti pola madrasah Abu Hanifah ini. AbuThahir Al-Daylami (w.461/ 1069) adalah mudarris pertama madrasah ini; kemudian berturut-turut Abu Thalib Al-Zaynabi (w.512/1118), Abu Ishaq Al-Salji (w.515/1121), Abu Yusuf Al-Lamaghani (w.536/1141), Abu Manshur Al-Hayti (w.537/1142), Al-Zaynabi yang disebut terdahulu, Zayn Al-A'immah Al-Hanafi (w.546/1151) dan Abu Al-Ghana'imAl-Baghdadi (w.557/1162). Seorang bernama Abu Sa'id Al-Khawarizmi diketahui pernah menjadi pustakawan di Madrasah Abu Hanifah. Madrasah ini beroperasi dengan baik selama lebih kurang dua abad, sampai masa sebelum serbuan Mongol yang berakhir dengan jatuhnya Baghdad pada 656 H/l 258 M ke tangan Hulagu. Madrasah ini mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan stabilitas sosial, ekonomi dan politik Irak pada umumnya, dan Baghdad pada khususnya. d. Madrasah Al-Mustanshiriyah Baghdad Madrasah ini mengambil nama sesuai dengan pendirinya, Khalifah Abbassyiah ke-36, Al-Mustanshir (623-640/1226-1242). Pembangunannya berlangsung selama sepuluh tahun, satu indikasi yang menunjukkan kebesaran madrasah yang didisain oleh Mu'ayyad Al-Din bin Al-Alqami ini. Fasilitas yang tersedia mencakup ruang kuliah, asrama, aula, kolam, dapur umum dan gudang. Masih merupakan bagian dari madrasah ini adalah sebuah perpustakaan, sebuah Dar Al-Quran, sebuah Dar Al-Hadits, sebuah rumah sakit, dan sebuah gudang obat (apotek). Kenyataan ini membuat Madrasah Al-Mustanshiriyah berbeda dengan Madrasah Nizhamiyah atau Madrasah Abu Hanifah. Perbedaan yang agak penting adalah bahwa khalifah Abbasiyyah, al-Mustansyir, tidak menghendaki madrasahnya beroperasi hanya untuk satu mazhab tertentu. Di sini, keempat mazhab sama-sama mendapat tempat dan dukungan fasilitas. Untuk itu, madrasah ini mempunyai empat ruang kuliah, masing-masing untuk satu mazhab. Khalifah Al-Mustanshir terkenal dengan keadilan, kesalehan dan kedermawanannya dalam memajukan kehidupan umat Islam, terutama di bidang pendidikan. Madrasah Al-Mustanshiriyah adalah bagian terpenting dari usaha ini. Masa pemerintahannya bertepatan dengan periode di saat stabilitas politik Baghdad tidak terlalu menggembirakan. Ketika itu Baghdad tidak lagi menjadi pusat penting politik Islam. Dinasti Saljuk yang sebelumnya berkuasa di Baghdad di Baghdad sudah jatuh, dan khalifah sudah kembali berkuasa secara penuh dan otonom, setelah lebih dari tiga abad hanya berperan sebagai boneka di hadapan para panglima tentara dan para sultan. Namun, wilayah kekuasaannya hanya di kota Baghdad dan sekitarnya. Di luar itu dinasti-dinasti Islam, seperti Khawarizimsyah diTransoxania dan Ayyubiyah di Mesir, Atabeg di Syria jauh lebih kuat secara politik dari pada khalifah di Baghdad. Buruknya suasana politik itu menyebabkan terjadinya perpindahan para ulama terbaik dari Baghdad.Tujuan mereka pada umumnya adalah Damaskus, Kairo, Makkah atau Madinah. Kenyataan historis ini menimbulkan akibat buruk bagi lapangan pendidikan. Kegiatan akademis memang tetap berlangsung, tetapi, seperti kata Nashabe, "Baghdad menjadi tempat ulama kelas dua". Tampaknya keadaan ini ada dalam pikiran Al-Mustanshir ketika ia memutuskan mendirikan madrasah. Kondisi akademis Baghdad sebagai tempat kediaman khalifah perlu ditingkatkan kembali. Lagi pula, untuk memantapkan kekuasaannya baik secara politik maupun sosial, khalifah butuh dukungan para ulama dan rakyat, dan madrasah adalah salah satu kemungkinan sarana untuk memperoleh dukungan ini (lihat kasus Madrasah Nizhamiyah). Untuk dapat mencakup sebanyak mungkin ulama, Al-Muntashir memberikan tempat bagi keempat mazhab dalam madrasahnya. Di sisi lain, umat Islam telah mencapai titik kondisi yaitu mereka siap untuk eksperimen baru dalam pendidikan; satu institusi yang mencakup semua mazhab hukum yang empat, menggantikan institusi yang secara eksklusif mendukung satu mazhab saja, dan mengakhiri pertikaian berkepanjangan antara kelompok-kelompok Syafi'iyah, Hanbaliyah dan Muta'zilah. Institusi seperti ini mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk diterima di seluruh dunia Islam, karena ia bisa memelihara kesatuan umat. Patronase semua mazhab Sunni yang empat oleh khalifah akan memberinya satu prestise yang lebih universal di dunia Islam tanpa hambatan dan batas-batas politik. Itulah sebabnya, Al-Muntanshir mendukung pengajaran mazhab Hambali dan Maliki di Madrasahnya walaupun di Baghdad hanya ada sedikit penganut kedua mazhab ini.Tentu saja Al-Muntanshir tidak saja bertujuan menyediakan fasilitas pendidikan bagi penduduk Baghdad, tetapi mencita-citakan kota Baghdad kembali sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi semua mazhab Sunni. Dengan madrasah ini, ia ingin merangsang para ulama untuk berbondong-bondong kembali ke Baghdad. Sejarah madrasah Al-Mustanshiriyah, oleh Nashabe dibagi menjadi tiga periode: Periode Pertama, sejak berdirinya sampai akhir khilafah Abbassyiah. Catatan sejarah tentang peresmian madrasah ini menunjukkan keterlibatan para pejabat tinggi pemerintahan dan para ulama terkemuka. Peresmian ini ditandai oleh pengangkatan empat guru besar: Ibn Fadhlan (w.631/1233), Al-Farghani (w.632/1234), IbnYusuf Al-Jawzi (w. 653/1255) dan Abu Al-Hasan Al-Maghribi (w. Abad ke-7/13) masing-masing secara berturut-turut mengajarkan mazhab-mazhab Syafi'i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Acara lain adalah penyaringan calon mahasiswa yang menghasilkan 72 orang untuk setiap mazhab (total 288 orang), yang kemudian akan menetap di asrama dengan beasiswa terjamin. Al-Syams' Ali Al-Kutubi diangkat menjadi pustakawan. Perhatian penuh dari Khalifah membuat madrasah ini beroperasi dengan baik dan periode ini adalah paling gemilang dalam sejarah madrasah Al-Mustansyiriah. Periode kedua, sepanjang kekuasaan Mongol atau Dinasti Ilkhan (658-738 H/1258-1337M).Kehancuran yang ditimbulkan oleh pasukan Mongol di setiap daerah yang mereka taklukkan terlukis dalam hampir setiap buku sejarah. Baghdad bukan suatu pengecualian. Kejatuhannya ke tangan Hulagu didahului oleh kehancuran serius madrasah Al-Mustansyiriyah. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, madrasah ini turut menderita: beberapa stafnya terbunuh dan sebagian buku koleksi perpustakaannya musnah atau diambil sebagai rampasan perang. Yang lebih berpengaruh, adalah rasa takut yang disebarkan pasukan Mongol. Ini menimbulkan gelombang perpindahan ulama dari Irak ke Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah atau tempat lain yang lebih tenang. Peraturan tentang wakaf yang diterapkan oleh penguasa baru ini seringkali tidak mendukung kemajuan lembaga pendidikan. Ini adalah salah satu masalah lain yang harus dihadapi Madrasah Al-Mustansyiriah pada periode ini. Secara keseluruhan kondisi pendidikan di Baghdad semakin mundur dibanding sebelumnya. Periode ketiga, adalah dari jatuhnya kekuasaan Mongol (739 H/1338 M) sampai pertengahan abad ke-12 H/18 M. Keadaan pada periode ini menunjukkan bahwa madrasah Al-Mustansyiriyah ditakdirkan untuk tidak bangkit dari keruntu-hannya yang telah bermula sejak abad ke dua belas. Perlahan-lahan, lembaga yang pernah jaya ini tenggelam dalam gelombang sejarah yang sedang menuju era modern. Pada pertengahan abad ke-12 H/18 M, meski bangunan fisiknya masih ada, tidak ditemukan lagi kegiatan pendidikan di dalamnya. Dan penguasa Turki Usmani tampaknya tidak mempunyai keinginan untuk membangunnya kembali. Metode Pengajaran di Madrasah Jenis metode pengajaran yang diberikan di madrasah antara lain: hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah terutama ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang diberikan itu. Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah pada masa pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi setidaknya, metode induktif, deduktif, analogi, bercerita dan metode kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat terlupakan dalam pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode tanya-jawab yang biasanya dilakukan dalam sebuah ta 'liqah (perdebatan). Metode ini dilakukan pada pelajaran yang menuntut penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam berbagai pelajaran, sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syria (1220 H/1805 M). Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada masa klasik Islam tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi dipengaruhi langsung oleh tujuan pendidikan di madrasah itu sendiri. Karena itu di bawah ini akan dibahas sepintas lalu tujuan-tujuan pendidikan yang dikembangkan di madrasah, baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan instruksional. 1) Tujuan Institusional Madrasah. Pada masa pendidikan Islam klasik, rumusan tujuan pendidikan di madrasah secara institusional sudah ada. Ini terlihat pada motivasi dan pendirian madrasah Nizham al-Mulk di Baghdad yang bertujuan mengembangkan mazhab Syafi'i, kemudian al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah yang mengembangkan mazhab Syiah, setelah itu pada zaman dinasti Ayyubiyah tujuan institusional al-Azhar diubah untuk mengembangkan faham Sunni. Pada dekade berikutnya, seiring dengan makin banyaknya madrasah yang dibangun, tujuan institusional lembaga pendidikan madrasah dikuatkan dengan hadirnya Hanafie Institute (madrasah Hanafiah) dan Hanbali Institute (madrasah Hanbaliah) seperti The Shrine college oflbn al-Abradi yang bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Ahmad Ibn Hanbal. Tetapi pada era berikutnya, seperti pada lembaga Dar El 'Ulum di Baghdad, tujuan institusional madrasah tidaklagi bertumpu pada pengajaran satu mazhab, tetapi lebih universal yaitu semua mazhab dengan bentuk-bentuk kelas tertentu. Al-A'la menjelaskan bahwa tujuan institusional madrasah masih bersifat parsial-terbatas pada madrasah tertentu saja belum menyeluruh, selain pada masing-masing jenjang pendidikan. Dengan demikian, pada masa pendidikan Islam klasik tujuan institusional madrasah dikembangkan sesuai dengan misi utama yang diajarkan oleh para penyusunnya (ulama) yang mengajar di madrasahnya. Namun, terkadang, misi itu perlu penyesuaian dengan kepentingan dan aturan/ kebijakan pemerintah. 2) Tujuan Kurikuler Madrasah. Untuk mengetahui tujuan kurikuler dari pendidikan model madrasah pada masa klasik Islam, secara tersirat dapat dilihat dari bidang studi yang ditekuninya. Tetapi sebelum dunia Islam mengenal madasah pun sebenarnya tujuan kurikuler sudah ada, yakni jika dilihat dari bidang studi yang ditekuninya tadi. Para sahabat Rasullulah, misalnya, mempelajari Al-Quran bertujuan agar mereka hafal dan mengerti makna yang terkandung serta berusaha untuk mengamalkan secara utuh. Untuk kepentingan itu mereka menghafalnya secara tekun dan cermat. Mereka yang berminat menekuni bidang fiqih bertujuan paling tidak agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. dan sesuai dengan anjuran syariat Islam. Pada generasi pasca sahabat, ketika pendidikan madrasah mulai dikenal, kaum Muslimin mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan tujuan agar memahami ajaran Islam sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Selain itu, pengetahuan dasar seperti membaca dan menulis merupakan kunci dalam mempelajari bidang-bidang keilmuan. Oleh karena itu, pengetahuan dasar diberikan kepada siapa saja sejak kanak-kanak. Ahmad Syalabi berpendapat bahwa salah satu tujuan para sahabat mempelajari hadits Nabi ialah agar mereka mengetahui persis akhlak Nabi. Sementara generasi berikutnya mempelajari ilmu bahasa agar dapat menolong mereka memahami kandungan Al-Quran dan sabda-sabda Nabi secara tepat. Menurut Al-Abrasyi, tujuan kurikuler dapat dilihat dari kecenderungan dan karakteristik ilmu yang ditekuninya, seperti belajar sejarah bertujuan untuk mengetahui keadaan masa lalu, bagaimana kehidupan para nabi, para raja dan para penguasa. Tujuan mempelajari ilmu mantiq untuk menjaga dan memelihara pikiran agar bisa berpikir maksimal dan logis. Tujuan mempelajari ilmu berhitung adalah untuk membiasakan diri berpikir analisis, sistematis dan kritis. Tujuan mempelajari ilmu kesehatan untuk memelihara dan mengetahui seluk beluk penyakit dan cara-cara menolong orang sakit. Uraian di atas menunjukkan bahwa pelajaran di madrasah sudah mempunyai tujuan-tujuan kurikuler tertentu untuk mencapai target lulusan yang diharapkan. Sejak masa klasik tujuan kurikuler pendidikan Islam memang sudah disusun secara baik, walaupun belum dianggap sebagai hal yang sistematis. 3) Tujuan Instruksional Umum Tujuan instruksional umum pendidikan digariskan dengan maksud agar mereka yang belajar di madrasah mengerti dan memahami kegunaan materi dari ilmu yang dipelajarinya. Misalnya, mempelajari ilmu mantiq agar mereka mengerti, mengetahui dan memahami cara berpikir yang baik dan benar. Tujuan mempelajari ilmu berhitung dan ilmu ukur adalah untuk mengerti, dan memahami cara menghitung yang benar dan baik. Tujuan mempelajari ilmu fiqih agar mereka mengerti, dan memahami hukum-hukum Islam baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalah. Demikian pula mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Tujuan Instruksional umum pada masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pendidikan Islam klasik lebih ditekankan pada aspek pengertian dan pengembangan pengetahuan, belum sampai pada tataran praktis. Karena itu, materi yang diajarkan baru sampai pada pengembangan pengetahuan yang bersifat teoritis. 4) Tujuan Instruksional Khusus Tujuan ini dirumuskan pada kondisi yang bersifat aplikatif dan bersifat lebih rinci, yaitu murid tidak hanya dituntut mengerti dan memahami tetapi juga dapat menyebutkan, mengungkapkan secara benar dan mempraktekkannya. Misalnya, pengajaran Al-Quran menuntut murid/mahasiswa dapat membacakan dengan benar, menyebutkan ayat-ayat tertentu yang berhubungan dengan materi pelajaran, dan dapat menunjukkan ayat-ayat tertentu jika guru memintanya. Contoh lain mempelajari berhitung dan ilmu ukur agar murid terbiasa menggunakan akal dan perasaan dalam mengikuti cara-cara tertentu seperti cara menjumlahkan, mengalikan, membagikan angka-angka dan mengukur luas dan isi. Kemampuan seperti ini sangat berguna secara praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang kelak akan membantu mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Secara Instruksional bila mereka telah menguasai ilmu-ilmu itu mereka dapat memecahkan persoalan dalam pembagian harta waris. Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. c. Evaluasi Pengajaran di Madrasah. Pada masa perkembangan pendidikan Islam klasik, untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem pendidikan dibutuhkan evaluasi pendidikan. Menurut Stanton dan Makdisi, evaluasi hasil belajar di madrasah sudah dilakukan pada masa Madrasah Nizhamiyah, dan diikuti oleh madrasah-madrasah lainnya pada masa sesudahnya. Bentuk evaluasi pendidikan madrasah pada masa itu sebagian besar dilakukan sendiri oleh guru bidang studi. Para guru bertanya pada muridnya, atau para murid diminta menghafal di depan kelas mengenai suatu materi. Evaluasi belum bisa dilakukan secara teratur dan terjadwal karena keberhasilan seorang murid menguasai materi yang diajarkan sangat tergantung pada semangat belajar para siswa/mahasiswanya sendiri. Setelah pendidikan madrasah mulai berjenjang, evaluasi dilakukan setidaknya untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang dalam mempelajarai ilmu-ilmu tertentu yang membutuhkan pengetahuan dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Seperti pelajaran Al-Quran, sebelum mempelajari tafsir Al-Quran, murid harus mengetahui lebih dahulu membaca dan menulis huruf dan ulumul Quran. Sepanjang sejarah pendidikan Islam klasik tidak ditemukan suatu catatan yang menjelaskan bahwa para pelajar diminta mempersiapkan diri mengikuti suatu ujian atau ulangan.Test yang dilakukan pada saat itu adalah test dalam kelas yang langsung dilakukan oleh para mudarris/syaikh, atau teman-teman lainnya dengan cara bertukar pikiran, berdebat atau diskusi. Namun demikian, tes tidak dilakukan secara terstruktur. Siswa/mahasiswa hanya mendapatkan ijazah atau surat keterangan sebagai bukti bahwa mereka telah lulus atau pernah belajar di lembaga tersebut. Surat keterangan itu berisi pernyataan tertentu di bawah bimbing-an ustadz/mudarris/syaikh tertentu, mengikuti ujian tertentu dan tanda tangan ketua lembaga pendidikan. Pemberian ijazah tersebut hanya sebatas menunjukkan kemampuan dan kesung-guhan seorang pelajar dalam mempelajari ilmu-ilmu tertentu tanpa disebutkan alamat lembaga tempat mereka belajar dan tidak mendapat gelar seperti pada lembaga pendidikan modern.

Selasa, 13 Mei 2014

SHOLAT WITIR

Shalat witir, Yang Sering Diremehkan Shalat witir adalah shalat yang dikerjakan malam hari sebagai penutup dari shalat sunat. Dinamakan karena jumlah rakaatnya harus ganjil. Banyak hadis Nabi yang menganjurkan untuk melaksanakan shalat witir. Hukum shalat witir adalah sunat, tetapi terhadap Nabi Muhammad saw. sendiri adalah wajib. Namun menurut Abi Hanifah hukum shalat witir juga wajib hukumnya terhadap umat Nabi SAW. Karena adanya khilafiyah tentang kewajiban shalat witir ini maka shalat witir lebih afdhal dari semua shalat sunat rawatib lainnya. Jumlah rakaat shalat witir sekurang-kurangnya adalah satu rakaat walaupun tidak didahului oleh shalat sunat ba`da isya, sedangkan sebanyak-banyaknya adalah sebelas rakaat. Apabila ketika takbir tidak diniatkan jumalah rakaat maka dibolehkan untuk shalat witir dengan jumlah rakaat yang ia kehendaki, 1, 3, 5 ataupun lebih. Waktu shalat witir adalah sama seperti waktu shalat tarawih yaitu setelah shalat isya hingga terbit fajar. Terhadap orang yang mengerjakan shalat witir lebih dari satu rakaat maka boleh saja ia salam pada setiap dua rakaat, bahkan ini yang lebih utama, atau ia sambung dengan satu kali tasyahud yaitu pada rakaat terakhir atau dua kali tasyahud yaitu pada dua rakaat terakhir. Serta tidak boleh mengerjakan tasyahud sebelum dua rakaat terakhir. Selain itu tidak dibolehkan dikerjakan satu kali salam dengan tasyahud lebih dari dua kali. Terhadap orang yang mengerjakan shalat witir sebanyak 3 rakaat disunatkan untuk membaca surat Al A`la pada rakaat pertama, dan surat Al-kafirun pada rakaat kedua dan surat AlIkhlas, Al-Falaq serta An-Nas pada rakaat ketiga. Sedangkan bila shalat lebih dari 3 rakaat maka ketiga surat tersebut dibaca pada tiga rakaat terakhir bila tiga rakaat terakhir dikerjakan terpisah dari yang lain. Doa shalat witir. Disunatkan setelah shalat witir sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Turmuzi untuk membaca سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْس Sebanyak tiga kali. Pada kali yang ketiga dibaca dengan suara yang lebih besar. Selanjutnya dibaca : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ Atau bila ingin membaca doa yang lebih panjang setelah membaca سبحان الملك القدوس kemudian dilanjutkan dengan membaca : سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ جَلَّلْتَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِاْلعِزَّةِ وَاْلجَبَرُوْتِ وَتَعَزَّزْتَ بِاْلقُدْرَةِ وَقَهَّرْتَ اْلعِبَادَ بِاْلمَوْتِ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ40 فِي كُلِّ لَحْظَةٍ اَبَدًا عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ Witir dulu atau tidur dulu. Terhadap orang yang yakin bahwa iakan terbangun setelah tidur maka lebih baik ia mentakhirkan witir, dan bila ia kerjakan setelah tidur maka dengan witir tersebut ia juga mendapat pahala tahajud, jadi dengan shalat witir setelah tidur juga hasil shalat tahajud. Sedangkan terhadap orang yang takut tidak terbangun sebelum fajar maka lebih baik ia shalat witir sebelum tidur. Menurut pendapat lain yang lebih utama adalah shalat witir terlebih dahulu kemudian ketika terbangun sebelum fajar shalat tahajud. Kedua pendapat tersebut berasal dari amal dua shahabat Nabi SAW, Abu Bakar dan Saidina Umar. Saidina Abu Bakar melakukan witir sebelum tidur kemudian ketika bangun tengah malam melakukan shalat tahajud, sedangkan Saidina Umar tidur terlebih dahulu kemudian bangun melaksanakan Tahajud dan witir. Kemudian keduanya melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW maka Rasulullah menjawab “ini (Abu Bakar) mengambil yang pasti, sedangkan ini (Umar bin Khatab) mengambil dengan kekuatan’’. Imam Ghazali menerangkan bahwa Imam Syafii lebih memilih amal Abu Bakar ra. Referensi: Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 1 hal 252 Cet. Haramain Khulasah fi Aurad wa ad`iyyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim bin Hafidh Cet. Dar Faqih, Tarim Copas Makalah Agus Taqiyyuddin Alawy

Sabtu, 10 Mei 2014

RAHASIA BACAAN BISMILLAH

RAHASIA BACAAN BISMILLAH Biasanya, segala macam laku rutinitas dikerjakan tanpa pikirpanjang. Misalkan mandi, makan, minum, bersepatu, memakai baju membuka laptop, ketik sms dan lain sebagainya. Rutinitas itu seolah menutupi subtansi pekerjaan itu sendiri. Hampir-hampir orang tidak sadar untuk apa ia minum, padahal dia tidak terlalu haus. Bahkan bisa jadi seseorang minum begitu saja tanpa berpikir bagaimana jikalau tenggorokan ini mengalami kemacetan, tidak mau menelan air. Begitu pula dengan bersepatu, asalkan kaki masuk kemudian jalan. Jarang sekali orang berpikir bagaimana nasib kaki jika di dalam sepatu ada kalajengking? Begitulah segalanya terjadi berulang kali dalam kehidupan ini seperti layaknya mesin pabrikan. Belum lagi jika rutinitas itu adalah berbelanja yang telah menjadi kelatahan, sehingga begitu seringnya seseorang tidak pernah berpikir panjang untuk apa ia membeli A atau B. Asalkan ia suka, barang itu harus dibelinya. Walaupun ia telah memiliki. Demikian itu seharusnya tidaklah boleh terjadi berlarut-larut. Bagi seorang muslim yang sadar dan beriman kepada Allah swt, hendaknya hati selalu ingat kepada-Nya dalam berbagai tindak-laku keseharian. Karena hidup ini hanya bergantung kepada-Nya. Bukankah jika Dia berkehendak, bisa saja udara di dunia ini dikosongkan untuk beberapa menit saja. Bayangkan apa yang terjadi dengan nasib manusia? Untuk itulah Rasulullah saw menghimabu umatnya untuk memulai segala sesuatu dengan bacaan bismillah. Karena sesungguhynya hal itu dapat menyadarkan manusia dari tindakan rutinitasnya dan kembali berpikir dengan penuh kesadaran. كل أمر ذي بال لا يُبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع Setiap perkara baik yang tidak didahului dengan bismillahirrahmanirrahim, perkara itu terpotong (percuma atau tidak dianggap ibadah) Dari keterangan Rasulullah saw di atas, maka secara otomatis bacaan bismillah dapat menggeser posisi tindakan rutinitas menjadi sebuah laku ibadah yang penuh makna. Sebagaimana kita menjalankan berbagai syariatnya. Bahkan tidak hanya itu saja, jiakalau kita mau mendalami beberapa hadits lain bisa jadi laku rutinitas yang telah bergeser menjadi laku ibadah karena didahului dengan bismillah berubah menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. مامن عبد يقول بسم الله الرحمن الرحيم إلا أمر الله تعالى الكرام الكاتبين أن يكتبوا فى ديوانه أربعمائة حسنة Tidaklah seorang yang membaca bismillahirrahmanirrahim kecuali Allah akan utus kepadanya seorang (malaikat pencatat) menuliskan 400 kebaikan untuknya. Jikalau sudah demikian, maka apa yang keluar dari seorang yang membaca bismillah tidak lain hanyalah berbagai kebaikan yang sekaligus menganulir berbagai tindak keburukan. Bahkan dalam salah satu haditsnya dengan tegas Rasulullah saw berkata مامن عبد يقول بسم الله الرحمن الرحيم إلا ذاب الشيطان كما يذوب الرصاص على النار Tidaklah seorang hamba membaca bismillahirrahmanirrahim kecuali ia akan mematri setan-setan seperti halnya tenol yang terpatri oleh soldir. Itulah beberapa alasan pentingnya mengucap bismillah. Sebagaimana Rasulullah saw menggambarkan posisi bismillah dalam rentetan keistimewaan yang lain, Rasulullah saw berkata “Allah menghiasi langit dengn bintang-gemintang, menghiasi malaikat dengan jibril, menghiasi surge dengan bidadari, menghiasi para nabi dengan Muhammad saw, menghiasi hari dengan Jum’at, menghiasi malam dengan laylatul qadar, menghiasi bulan dengan Ramadhan, menghiasi masjid dengan ka’bah, menghisi mushaf dengan al-Qur’an, dan menghiasi al-qur’an dengan bismillah”. Copas Makalah Agus Taqiyyuddin Alawy

KETIKA IMAM SYAFI'I TIDAK QUNUT SHUBUH

KETIKA IMAM SYAFI'I TIDAK QUNUT SHUBUH Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits. Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih. Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali. Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya. Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh. Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam. Mengapa? Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi. Begitulah prilaku seorang yang benar-benar alim selalu menghormati pendapat orang lain dan tidak merasa benar sendiri bahkan tidak pernah mencaci maki serta menyalahkan pendapat orang lain.

Rabu, 07 Mei 2014

ULAMA TRANSFORMATIF, TUNTUTAN MASA KINI

ULAMA TRANSFORMATIF, TUNTUTAN MASA KINI Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, sebagaimana firman Allah QS. Al Anbiya': 25 وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ (٢٥ "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: `Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25). Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul mengamalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT al-Ahzab [33]: 45-46: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (٤٥)وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا (٤٦ "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46). Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut. Pertama, saat mendiagnosis kondisi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, berdasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahidan. Kedua, optimistis dan proaktif (mubassyiran); hampir dipastikan ulama akan menghadapi kondisi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan. Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem. Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati. Tidak menuding "Kalian salah!" tapi pakailah kata-kata "Kita sedang menghadapi masalah ini dan lainnya". Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!" Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otoritas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak. Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam. Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Beliau bertanya beberapa hal kepada para murid-muridnya itu. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. " Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati!". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Sesuai dengan Firman Allah SWT: كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imran [3]: 185) Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah "MASA LALU!" Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama. Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu!" Sesuai dengan Firman Allah SWT: وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai". (QS.Al-A'araf [7]:179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH!" Yaitu sesuai dengan Firman Allah SWT: إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً "Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya". (QS. Al Ahzab [33]:72). Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?". Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah ... 'meninggalkan SHALAT!'. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat. Lantas pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "lidah MANUSIA!". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. Semoga Bermanfaat... رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku." (QS Ibrahim [14 ]:40 Sedekah legendaris abdurahman bin auf Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki. Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya, "Apa yang sedang terjadi di Madinah?" Ada yang menjawab, "Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya." Aisyah bertanya, "Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta." Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, Kemudian ia berkata, "Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT." Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga. Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, "Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka." Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan. Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan." Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin. Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, "Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan." Karena itu dia berkata, "Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka." Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya. Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, "Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia." Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita." Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka. Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah." Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi." Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya. Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya. Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki." Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga." Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262). bagaimana dengan kita??

MAKNA SUJUD

MEMAHAMI MAKNA SUJUD

“Wasjud Waqtarib” demikianlah Allah swt menutup firmannya dalam surat al-Alaq. Suatu statemen yang tegas dan gamblang. Bahwa sujud merupakan wahana paling efesien untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Memang secara psiklogis sujud memiliki nilai lebih dibandingkan dengan rukun shalat yang lain. Karena ketika sujud posisi seseorang benar-benar mununjukkan kerendahannya di hadapan Sang Khaliq. Bagaimana tidak, kepala yang menjadi bagian paling istimewa dalam tubuh manusia dan tempat bersemayamnya pancaindera. Juga anggota tubuh yang paling dimuliakan oleh manusia, tiba-tiba diposisikan begitu rendahnya hingga rata dengan tanah, tempat kaki berpijak.

Sebenarnya sujud menjadi wahana intim antara hamba dengan Allah swt. Pada saat itulah mereka merasakan ke-hinaannya dan sekaligus ke-agungan Allah swt. Begitulah yang diisyaratkan Rasulullah saw dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

أقرب ما يكون العبد الى الله عزوجل اذا سجد, فاكثروا الدعاء عند ذلك

Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Allah swt adalah ketika (hamba tersebut) sedang sujud. Maka perbanyaklah berdo’a ketika sujud.

Oleh karena sujud menjadi ruang meditasi yang paling intim, maka dianjurkan ketika bersujud untuk memperbanyak do’a.

Demi mengkondisikan kehinaan dirinya sebagai hamba dikisahkan bahwa Umar bin Abdul Aziz selalu sujud di atas tanah. Sehingga kulit jidatnya bertemu langsung dengan tanah dan hidungnya dapat mencium bumi.rdo

Kehinaan seorang hamba ketika bersujud tidaklah sia-sia, karena Allah swt berjanji akan menaikkan derajat orang tersebut dan sujud itu akan menyingkirkan berbagai macam keburukan darinya.

ما من مسلم يسجد لله سجدة الا رفعه الله بها درجة وحط عنه بها سيئة

Dengan kata lain sujud juga dapat menjadi salah satu terapi menghindarkan diri dari berbagai keburukan dan kemaksiatan, sebagaimana shalat dapat mencegah diri dari kekejian dan kemungkaran.

Begitu pentingnya makna sujud sehingga Rasulullah saw pernah berwasiat kepada salah satu sahabatnya:

أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم أدع الله أن يجعلنى من أهل شفاعتك وأن يرزقنى مرافقتك فى الجنة, فقال صلى الله عليه وسلم "أعنى بكثرة السجود"

Bahwasannya seorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw, “do’akanlah aku agar dapat menjadi orang yang menerima syafaatmu (di hari kiamat) dan mendapatkan rizqi dengan menemanimu di surga” kemudian Rasulullah saw menjawab “maka aku perintahkan untuk memperbanyak sujud”

Sebagai bukti penguat betapa pentingnya sujud adalah cerita penderitaan setan ketika seseorang melakukan sujud tilawah (sujud yang diperintahkan ketika membaca ayat tertentu dalam al-qur’an). maka setanpun berkata “sungguh beruntung hamba ini yang diperinthakn bersujud, kemudian ia bersujud. Maka surge akan menjadi bagiannya. Dan sungguh celaka diriku ini (setan) yang diperintahkan sujud, tetapi malah membangkang. Maka aku akan kebagian neraka.

Doa Setelah membaca surah Yasin.

﴿ الدُّعَاء بَعْدَ سُوْرَة يـس ﴾

بِسْمِ الله الرّحمن الرّحيم. اَللّهُمَّ إِنَّا نَسْتَحْفِظُكَ وَنَسْتَوْدِعُكَ أَدْيَانَنَا وَأَبْدَانَنَا وَأَنْفُسَنَا وَأَمْوَالَنَا وَأَهْلَنَا وَكُلَّ شَيْئٍ أَعْطَيْتَنَا. اللّهُمَّ اجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ فِى كَنَفِكَ وَأَمَانِكَ وَعِيَاذِكَ وَجِوَارِكَ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ وَجَبَّارٍ عَنِيْدٍ وَذِيْ عَيْنٍ وَذِيْ بَغْيٍ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. اَللّهُمَّ جَمِّلْنَا بِالْعَافِيَةِ وَالسَّلاَمَةِ وَحَقِقْنَا بِالتَّقْوَى وَاْلإِسْتِقَامَةِ وَأَعِذْنَا مِنْ مُوْجِبَاتِ النَّدَامَةِ فِيْ الْحَالِ والْمَالِ إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ. وَصَلِّ اَللّهُمَّ بِجَلاَلِكَ وَجَمَالِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْزُقْنَا كَمَالَ الْمُتَابَعَةِ لَهُ ظَاهِرًا وَّبَاطِنًا يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ بِفَضْلِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.